Minggu, 01 Juli 2012

Mau Nulis apa?

Dari dulu aku selalu bertanya-tanya, aku mau concern di bagian apa
tentang menulis? Aku hanya seorang mahasiswa part time, belajar selama 4
 jam di kampus dan selebihnya dipake buat kerja, cari nafkah dan nabung
buat masa depan. So, selama ini isi kepalaku hanya berisi grammar dan
structure of English, obrolan-obrolan di tempat kerja, tempat belanja
mana yang ada diskon, dan curhatan adik-adikku. So, mau nulis tentang
apa, I don't have any idea. About Love, boro-boro pacaran aja belum
pernah, aku orang yang takut bikin komitmen. Aku ga tahu bagaimana
menerangkan betapa indahnya cinta itu, serta sakitnya yang sering
ditera-tera orang yang patah hati. Aku aja sampai heran, betapa sembilan
 puluh sembilan persen lagu dan prosa yang ada di dunia ini ternyata
berkenaan tentang cinta. Aku enggak heran tentang keberadaan lagu dan
prosa itu, tapi heran betapa aku ketinggalan dan inexperinced in love :(
Tapi aku suka menulis, jadi nulis tentang apa dong? Binun' ;(

Menurut artikel yang sering kubaca tentang kepenulisan, tulislah apa
yang ada di sekitarmu, menulis tentang yang kamu suka. Apa yang ada di
sekitarku? Oh, tentang teman-teman di tempat kerjaku yang bermimpi
menikah dengan cowok kaya, atau tentang dunia kerja shift yang
melelahkan, atau perjuangan the student as a worker di batam. Itu semua
bukan topik yang terlalu menyenangkan, dan kebanyakan orang lebih suka
mendengar dan membaca tentang cinta. Oh, cinta lagi, cinta lagi. Menulis
 yang aku suka, apa yang aku suka? Aku suka membaca, suka menonton, dan
suka sastra. Aku suka pelajaran Literature di kampus. Aku suka cerita
tentang Shakespeare, Geoffrey Chaucer, dan Bede. Aku suka bagaimana
Aldhelm berhasil memikat para bangsawan jaman dahulu dengan
karya-karyanya. Aku juga iri betapa mereka itu dulu, para sastrawan itu
maksudnya, dianggap sebagai masyarakat kelas atas, Viscount and
Viscountess. Shakespeare dan Spencer dulunya hanya orang biasa, tapi
karena pengetahuan mereka akan sastra, nama mereka abadi hingga
sekarang. Shakespeare hanyalah seorang anak desa yang miskin, merantau
ke London, bekerja di teater, dan dalam beberapa tahun sudah memiliki
group drama yang terkenal. Sedang Spencer, hanya mahasiswa miskin yang
mengandalkan bantuan orang-orang (bantuan pakaian bekas, makanan, dan
buku-buku bekas) bisa mengimbangi kemampuan sang master, Geoffrey
Chaucer. Fine, gua suka sastra inggris. Aku bisa menulis tentang hal
ini. Ini akan jadi topik yang kutekuni. Yeah, I get it.

Ok, mungkin aku bisa membuat blog lain yang lebih concern tentang
English Literature. Blog yang akan bermanfaat bagi orang lain. Blog yang
 bisa membantu orang lain dalam membuat tulisan atau makalah tentang
Literatur Inggris Kuno. Ok, entar kalau blognya udah ada, aku publishin
yea'..

Menjadi Mandiri

Dulu waktu masih SMA, aku suka banget sama drama korea yang tayang di Indosiar pas sore hari. Rasanya gimana ya, situasi yang diceritain di drama impianku banget. Maksudnya, kebanyakan ceritanya itu tentang cewek mandiri yang berjuang menggapai cita dan cintanya, asik! Drama itu bikin aku berimajinasi, seandainya ntar aku jadi cewek dewasa, tinggal di suatu kota yang jauh dari orang tua, punya kost-an, barang-barang pribadi, en' setiap hari berjuang mendapatkan yang dicita-citakan, baik itu pekerjaan yang diidamkan, maupun cowok cool yang diimpikan, hahahay!

Rasanya keren banget kalau kita punya kamar sendiri, yang barang-barangnya milik sendiri, dan punya kebebasan mau ngelakuin apapun selagi dalam alur yang positif. Ini karena aku udah kapok sama status saya sebagai seseorang yang memiliki banyak saudara. Nonton Tv rebutan, main game di komputer juga rebutan, uang sekolah harus dibayar bergiliran, belum lagi harus mencuci dan menyetrika pakaian yang bejibun. Biasanya kalau masalah rebutan, aku yang menang. Karena statusku sebagai anak cewek yang paling tua, jadi mereka harus menurut. Tapi kalau Bapak n Mamak lagi di rumah, aku ditegor dan disuruh harus mengalah. Nah, sejak itu rasanya aku pengen banget hidup di suatu tempat hanya berkesendirian. Punya barang sendiri, tidak harus berebut dengan siapapun, tidak harus mengalah, dan juga tidak harus menunggu giliran.

Merantau ke batam, aku baru merasakan gimana jadi seseorang yang mandiri. Aku harus bisa bertahan hidup dengan hasil jerih payahku sendiri. Harus bisa mengatur pengeluaran sehingga akhir bulan tidak meminjam uang kepada orang lain. Pada saat bekerja itu kemudian aku mulai belajar, betapa sebenarnya mencari nafkah itu sangatlah susah. Sedangkan menafkahi diri sendiri harus bekerja keras seperti ini, apalagi menafkahi banyak anak seperti yang dilakukan orang tuaku, pastilah mereka sudah sangat berusaha. Aku sangat naif pada saat itu berpikir betapa orang tuaku tidak mengerti kebutuhan anak-anaknya. Aku merasa itu adalah kewajiban mereka untuk memenuhi keperluan kami, terserah apapun caranya. Dulu aku selalu merasa kesal dengan keterlambatan orang tuaku untuk membayar uang sekolahku. Selalu mengatakan kalau mereka itu bukan orang tua yang baik. Dan sekarang aku mengklaim bahwa diriku yang dulu benar-benar bodoh, tidak tahu diri, dan juga sangat-sangat naif.

Menjadi mandiri memang sebuah perjalanan. Mandiri bukan hanya bisa hidup mengandalkan diri sendiri, tapi juga diri sendiri itu harus terlatih dalam menghadapi situasi apapun.