Kamis, 21 Agustus 2014

Lembar Terakhir

Menulis. Merenung. Dia menulis lagi. Dan merenung lagi.

Ini lembar terakhirku. Dengan pena yang kuberikan inisial namamu. Aku menaruhkan semua perasaan yang pernah kusimpan untukmu. Seperti, memandang botol minumanku yang berisi setengah dan teringat kamu. Saat kamu merebut botol itu dari tanganku padahal tutupnya belum dipasang sempurna. Air dalam botol tumpah dan membasahi kita berdua. Aku yang paling banyak kena tumpahannya. Dasar, aku tertawa sendiri mengenangnya.

Baiklah lembar terakhirku tertunda karena melihat botol minuman. Tapi jemariku terasa semakin lancar mengetik. Seperti lancarnya aliran darahku saat melihat jemari dan lenganmu yang kuat. Saat kamu menolongku membukakan pintu atau mendorong sepeda motor yang kehabisan bensin. Atau aliran darah yang kencang saat kamu lurus memandang ke arah wajahku. Astaga, rasanya semua darah berkumpul di ubun-ubun.

Ruangan hening, hanya suara ketikan di keyboard yang bergema mengisi. Lembar terakhirku berisi saat melihatmu terbaring menahan sakit. Saat aku bingung harus berbuat apa. Kamu menggenggam tanganku dengan tatapan tidak berdaya. Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin membagi kesakitan yang sedang kamu rasakan, tapi apa yang bisa kulakukan? Kamu tertawa namun tetap meringis menahan sakit. Tawamu mengisi kekosongan ruang. Aku ikut tertawa dan mengencangkan genggamanku. Pernahkah kamu merasa hidup begitu mendesak, penuh dan rumit, dan tiba-tiba semua jadi lengang karena tawa seseorang?

Lembar terakhir. Lembar terakhir. Saat melihatmu, aku merasa lembar terakhir itu memiliki panjang yang tidak bisa kuukur. Apakah kita baru saja memulai? Lembar itu berisi kata menggoda pada awalnya. Tidak lama kemudian baris-baris abu-abu tentang pertengkaran kita. Bagaimana semuanya mengantarkan aku ke zona yang baru saja kurasakan. Perasaan yang hebat namun entah mengapa aku merasa tak berhak memilikinya. Kita berteriak, lalu memandang ke masing-masing dan tersenyum. Bolehkah aku menggenggam tanganmu lagi. Aku ingin ketenangan. Atau rangkullah aku. Aku akan menciummu agar kamu merasa dicintai. Rasanya lengkap saat ada seseorang yang ada di sekitarmu memperhatikanmu, dan benar-benar ada, siap untuk mendengar dan menghibur.
 Aku tidak ingin lembar terakhirku terkoyak lagi. Aku akan berusaha menjaganya, menulisinya, dan menyimpannya ke dalam sanubariku yang terdalam.

1 komentar: